• Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh

Your cart

Price
SUBTOTAL:
Rp.0

Miris! Pakar Ungkap Gelombang PHK Hantui Ibu Hamil, Kok Bisa?

img

Pada tanggal 25 Oktober 2024, sebuah laporan yang mengkhawatirkan muncul dari Inggris, menyoroti bahwa sekitar 74.000 wanita setiap tahunnya kehilangan pekerjaan mereka karena kehamilan atau cuti melahirkan. Data ini, yang dikutip dari Independent, menunjukkan masalah diskriminasi yang signifikan di tempat kerja.

Survei terbaru mengungkapkan bahwa hampir setengah (49,5%) dari ibu hamil atau yang baru kembali dari cuti melahirkan mengalami pengalaman negatif di tempat kerja. Pengalaman ini mencakup berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan tidak adil.

Organisasi seperti Pregnant Then Screwed dan Women In Data mendesak perusahaan untuk mengambil langkah-langkah proaktif. Mereka menyerukan peningkatan tawaran cuti ayah, menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah keluarga, dan menyediakan opsi pekerjaan fleksibel bagi ibu setelah melahirkan.

Joeli Brearley, pendiri Pregnant Then Screwed, menyatakan kekhawatirannya bahwa angka ibu hamil yang kehilangan pekerjaan terus meningkat setiap tahun. Situasi ini memerlukan perhatian serius dan tindakan segera.

Di Indonesia, hak cuti melahirkan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). UU ini memberikan perlindungan hukum bagi ibu bekerja yang melahirkan.

Survei juga menemukan bahwa lebih dari sepertiga (35,9%) wanita merasa dipinggirkan atau diturunkan jabatannya selama kehamilan, cuti melahirkan, atau setelah kembali bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap ibu hamil masih menjadi masalah yang meluas.

Taisiya Merkulova dari Women In Data menekankan pentingnya menutup kesenjangan gender dan menghilangkan tantangan yang dihadapi wanita dalam mencapai kesetaraan di tempat kerja. Ia juga menyoroti beban tambahan yang tidak dibayar yang seringkali ditanggung oleh ibu sebagai pengasuh.

UU KIA di Indonesia juga mengatur cuti bagi suami untuk mendampingi istri saat persalinan, yaitu selama 2 hari dan dapat diperpanjang hingga 3 hari sesuai kesepakatan.

Penyebab utama fenomena ini meliputi diskriminasi terkait kehamilan, kebijakan perusahaan yang tidak ramah terhadap ibu hamil, dan masalah ekonomi. Survei juga menunjukkan bahwa sebagian kecil wanita yang mengalami diskriminasi (2%) akhirnya mengajukan klaim ke pengadilan.

UU KIA menjamin hak cuti melahirkan bagi ibu bekerja selama minimal 3 bulan pertama dan dapat diperpanjang hingga 3 bulan berikutnya jika ada kondisi khusus. Selain itu, UU ini melindungi ibu yang mengambil cuti melahirkan dari pemutusan hubungan kerja (PHK).

Survei yang melibatkan 35.800 orang tua menemukan bahwa 12% ibu hamil dipecat, diberhentikan secara tidak hormat, atau diberhentikan sementara selama kehamilan, cuti melahirkan, atau dalam waktu satu tahun setelah kembali bekerja.

Brearley menambahkan bahwa temuan survei yang menunjukkan 74.000 ibu dikeluarkan dari pekerjaan setiap tahun karena memiliki anak sangat menghancurkan. Ia menggambarkan situasi ini sebagai seorang wanita dikeluarkan dari pekerjaannya setiap 7 menit di Inggris karena melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kehidupan manusia.

© Copyright 2024 - Warta Senja
Added Successfully

Type above and press Enter to search.